Welcome to The Jungle!!

Selamat datang di blog Eko Budi Nugroho...

Senin, 09 Agustus 2010

Genting

“Bapak, mengertilah, keadaan saat ini benar-benar kacau. Enam jendral sudah terbunuh. Surat kabar dimana-mana memberitakan penyiksaan yang tak manusiawi.”
“Dan kau percaya itu nak?”
“Tak tahulah pak.”
“Bohong itu semua! Presiden kita sendiri tempo hari sudah bicara lantang, surat kabar-surat kabar itu menyebarkan berita bohong!”
“Tapi kebohongan itu kini sudah berubah jadi kebenaran pak!”
“Yah, apa boleh buat, memang mereka sudah jadi corong rezim!”
“Kini tak ada lagi yang bisa dipercaya pak, bahkan tetangga kita. Semua orang kini saling curiga, bahkan saling bunuh. Kita harus segera pergi, pak.
“Kamu ini bicara apa?”
“Astaghfirullah, pak, sadarlah! Keadaan sekarang benar-benar genting! Tentara-tentara sudah menyusup ke desa-desa, memakai truk.....”
“Kau takut, anakku?”
“Pak, mengertilah....”
“Anakku, tak perlu ada yang ditakutkan jika kita memang tidak bersalah.”
“Pak, ribuan orang sudah disembelih hidup-hidup. Sungai-sungai amis penuh bangkai manusia. Tentara membiarkan itu. Massa mengamuk, mereka membabati orang-orang seperti membunuhi anjing liar saja.”
“Yah, memang begitulah kondisi bangsa kita saat ini nak. Banyak orang berubah jadi serigala buas. Memangsa saudara-saudaranya sendiri.”
“Pak, saya mohon bapak ikut saya mengungsi sekarang juga pak!”
“Anakku, bapak lahir di rumah ini. Mungkin kakekmu juga pernah merangkak di salah satu sudut rumah ini. Dan kau, anakku, tak ingatkah kau dulu sering menggambari dinding itu dengan pinsil hingga ibumu marah-marah?”
“Tentu saja pak. Saya lahir dan besar di rumah ini. Sejarah saya dan keluarga kita pun adalah sejarah rumah ini.”
“Nah, kau pasti mengerti anakku mengapa bapak enggan meninggalkan rumah ini.”
“Pak, keadaan sekarang benar-benar genting. Tak ada yang bisa kita percayai.”
“Selalu ada yang bisa kita percaya, anakku.”
“Pak, garis komando sudah menginstruksikan pada perangkat-perangkat desa untuk menembak di tempat mereka yang terkait atau bersangkut paut dengan komunis.”
“Hahaha.....Kau percaya lurah kita, Pak Kadiman yang santun itu, mampu menembak mati ayahmu ini? Memegang bedil saja kurasa ia gemetaran.”
“Bapak, mengertilah, keadaan saat ini genting, orang tak ragu-ragu lagi menarik pelatuk jika senjata ditodongkan di kepalanya.”
“Bapak percaya dia takkan tega melakukannya. Kami teman satu milisi gerilya dulu. Bapak tahu betapa teguh ia memegang prinsip-prinsipnya.”
“Keadaan telah berubah pak, sadarlah! Kini tak ada lagi bedanya teman dan musuh, kita tak mampu membedakan.”
“Kamu tahu apa?”
“Yang ada kini cuma persoalan membunuh atau dibunuh, pak. Atas nama ideologi, atas nama agama, dan atas nama dendam masa lalu.”
“Akh, anakku. Kamu tertalu gegabah dalam bersikap. Ini tak segawat yang kau bayangkan. Memang negara ini baru seumuran remaja tanggung, dan wajarlah gonjang-ganjing macam ini terjadi sementara.”
“Pak, saya tak ingin berdebat lagi, tapi keadaan benar-benar gawat. Orang-orang banyak diculiki, diangkut dengan truk atau apapun ke ladang-ladang penyembelihan. Saya sudah lihat laporannya.”
“Jadi?”
“Kita harus segera menyingkir pak. Disini tak aman lagi. Sebentar lagi pasukan bersorban bersenjata pedang yang melakukan long march akan merangsek kesini pak. Mari berkemas.”
“Tidak, anakku.”
“Saya mohon pak.”
“Sudahlah, percuma nak.”
“Percuma bagaimana pak?”
“Bapak akan bertahan di sini.”
“Pak?”
“Apa perlu bapak katakan sekali lagi? Bapak akan bertahan di sini.”
“Pak?”
“Titik!”
“Baiklah, kalau begitu saya juga akan disini.”
“Kau tak boleh di sini!”
“Kenapa pak? Bukannya bapak bilang di rumah inilah tempat kita sebenarnya? Tempat sejarah kita bermula dan berakhir?”
“Memang benar. Tapi kau tak boleh di sini!”
“Kenapa pak?”
“Kau harus mengungsi anakku. Sebab rumah ini tak lagi aman bagimu.”
“Kalau begitu rumah ini pun tak aman lagi bagi bapak!”
“Bapak tak bisa tinggalkan rumah ini. Rumah ini adalah amanat mendiang kakekmu. Sejak Bapak menikah, rumah ini sudah jadi tanggung jawab bapak. Apa pun yang terjadi dengan rumah ini, bapak akan tetap pertahankan!”
“Maka saya juga berhak pertahankan!”
“Kam masih muda, belum menikah, bapak pun belum pernah menyerahkan rumah ini padamu!”
“Pak?”
“Pokoknya sekarang juga kau pergi, tinggalkan rumah ini. Carilah ilmu di tempat lain. Belajarlah, susunlah kekuatan. Suatu saat nanti keadaan akan berubah anakku. Percaya itu. Dan saat momen itu tiba, gunakan kekuatan yang telah kau susun!”
“Tapi saya tak bisa tinggalkan bapak seperti ini....”
“Bisa! Kau sendiri yang bilang dalam keadaan genting seperti ini apa pun mungkin. Bapak harus di sini anakku. mempertahankan sisa kehormatan yang kita miliki. Rumah ini dan sapi di kandang itu. Keduanya adalah alat produksi, anakku. Tahulah kau artinya, walaupun sawah kita sudah direbut pabrik gula puluhan tahun lalu, anakku, alat produksi yang tersisa ini harus dibela!”
“Pak, ikutlah denganku. Di Bandung saya ada teman, dan disana relatif aman.”
“Pergilah anakku!”
“Pak?”
“Pergi atau aku akan mengayunkan kelewang ini dan menebas lehermu!”
“Baiklah, saya takkan memaksa bapak lagi. Tapi saya cuma ingin berpesan pak, jika tentara atau laskar-laskar berpedang itu datang, bapak tak usah berkata macam-macam, saya sudah membakar semua bendera palu-arit itu pak, buku-buku itu juga sudah saya ungsikan. Jadi mereka tak ada bukti.”
“Ada bukti atau tidak, bedil dan pedang mereka begitu haus darah anakku.”
“Pak, tak bisakah bapak ikut denganku mengungsi?”
“Anakku, Bapak tetap akan bertahan disini.”
“Untuk terakhir kalinya, saya mohon bapak ikut denganku.”
“Sekali tidak, tetap tidak!”
“Baiklah jika itu keinginan bapak. Ananda pergi sekarang. Jaga diri baik-baik pak. Setelah kondisi aman, saya akan lekas kesini pak. Saya berjanji.”
“Hati-hatilah kau di jalan nak. Ingat, suatu saat nanti kau harus kembali, bukan dengan tangan kosong, tapi dengan kekuatan baru yang telah kau bangun. Ingat itu!”

Prasojo memeluk tubuh renta itu, mencium kening penuh kerutan itu, dan membenarkan letak kerah kemeja sang bapak. Sambil mengusap air mata yang terus membanjir di matanya, Pras mengucap pamit, berdiri sejenak di ambang pintu menatap sang bapak yang tersenyum padanya, merekam sebisanya semua detail rumah itu dengan matanya, lalu menghilang di antara semak-semak dan gelap malam.
Lelaki tua yang duduk di kursi ruang tengah di rumah itu terdiam. Matanya berkaca-kaca. Dalam hatinya tak henti doa-doa mengalir untuk sang putra tercintanya yang telah pergi dan mungkin takkan ia lihat lagi untuk selamanya. Gonjang-ganjing ini, tak pernah sekalipun ia membayangkannya. “Negeri yang masih seumuran remaja tanggung,” gumamnya seraya tersenyum kecut.


Rawamangun, 2008
Eko Budi Nugroho
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris, FBS, UNJ